Masyarakat yang hidup di Bali dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal terbiasa hidup rukun dan menjunjung tinggi toleransi.
Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala peninggalan sejarah .
Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Yaitu pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.
Pura Negara Gambur Anglayang terletak di tepi Pantai Tabaning, Kubutambahan. Tabaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abad ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas.
Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya, Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha -- budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-13). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.
Karena tempat itu dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambang dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal.
Seperti apa pun perjalanan sejarahnya, situs Pura Gambur Anglayang bisa memberi pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Jejak-jejak sejarah tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.
Dilihat dari luar, Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di Bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggih-nya yang mencerminkan berbagai suku dan agama di dunia. Untuk piodalan di Pura Negara Gambur Anglayang dilaksanakan setiap Buda Cemeng Klawu.
Referensi : Parisada Hindu Dharma Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar