Selasa, 06 April 2010

Bertahan dengan Kepercayaan




"Meme, ada be ap jumah?, seduk ne me. yen sing ad be yang kal meli McD ". 
Begitu kata Made Tombong kepada ibunya lewat ponsel barunya. Namanya saja beli ponsel baru, padahal beli sekon. 

Itu gambaran masyarakat Bali saat ini, yang sudah semakin larut dalam arus globalisasi dan modernisasi, serta sasi2 lainnya. Sebagian masyarakat, khususnya masyarakat di perkotaan dikelilingi oleh gaya hidup hedonis dan metropolitan. apalagi ABG (anak baru gede) yang saban hari nongkrong di mal atau cafe. entah sekedar duduk2 sambil makan donat J.Co plus nge wifi, atau sekedar main bilyar.

Banyak pihak yang pesimis terhadap kelangsungan budaya Bali. Terutama dengan adanya interaksi antara kebudayaan dan pariwisata , serta pengaruhnya bagi pembinaan kebudayaan dan pengembangan pariwisata Bali. Hal tersebut tentunya akan membawa pengaruh positif tapi juga negatif bagi masyarakat Bali. Pengaruh positifnya dapat dilihat dari pembangunan yang semakin meningkat ditopang oleh pariwisata. Sedangkan pengaruh negatifnya juga ada, terutama dari segi sosial dan gaya hidup. 

Sejarah hubungan Bali dan Pariwisata terjalin cukup lama. Di Bali mulai dikenal kegiatan pariwisata pada periode tahun 1920-an. Dan hingga sekarang, Bali menjadi satu daerah tujuan wisata yang paling terkenal di Indonesia bahkan sampai dunia. Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat yang bekerja di bidang pariwisata semakin bertambah, jumlah desa yang dibuka menjadi obyek wisata juga bertambah. Apalagi kepariwisataan di Bali dibangun menjadi industri dan bisnis yang profesional, sehingga dari semua segi mampu berdampingan dan bersaing dengan negara lain yang sudah maju kepariwisataannya. Oleh karena itu, meningkat pula intensitas pergaulan, komunikasi dan keterbukaan kebudayaan Bali terhadap kebudayaan Barat (internasional).

Bertentangan dengan pihak yang pesimis akan kelangsungan budaya Bali, ada juga pihak yang optimis kalau budaya Bali bisa bertahan dari pengaruh Barat. Pihak ini yakin pengaruh pariwisata tidak serta merta membawa pengaruh negatif di Bali. Karena interaksi kebudayaan lokal dengan kebudayaan luar yang berlangsung dalam bingkai kepariwisataan tetap berjalan secara fleksibel dan adaptif tanpa meninggalkan esensi atau tujuan awal dari agama Hindu, yaitu untuk Yadnya. 

Jika dianalisis secara struktural, baik struktur dalam maupun struktur luar, tampak beberapa ciri yang melekat dalam kebudayaan Bali. Dimana kebudayaan itu selalu menunjukkan diri sebagai kebudayaan yang cenderung bersifat ekspresif, selain memiliki ruang luas yang memberi kesempatan untuk berkembang secara variatif. Hal itu terjadi akibat struktur dalam yang menjadi esensi dan pembentuk kepribadian kebudayaan merupakan perpaduan yang utuh antara tradisi dengan Agama Hindu yang berintikan nilai religi, estetika dan solidaritas. Sedangkan dari struktur sudut luar, kebudayaan Bali senantiasa diwarnai proses adaptasi dan respon yang dinamis dari masyarakat Bali terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya.

Dengan demikian, struktur luar kebudayaan Bali memperlihatkan keragaman bentuk dan variasi sesuai dengan konsep desa, kala, patra (tempat, waktu, keadaan). Memang, dibanding struktur dalam, struktur luar kebudayaan Bali lebih cepat berubah. Namun demikian pola perkembangan kebudayaan Bali tidak akan menyimpang dari beberapa konsep yang membangun dan melandasi strukturnya (Mantra,1993) , antara lain :

1.     Rwa Bhineda (Dualistik)
Suatu pengakuan tentang adanya dua kategori yang secara abadi berlawanan dan senantiasa mewarnai kehidupan ini yaitu baik dan buruk, sacral dan profane, pria dan wanita, dst

2.     Keselarasan
Terutama keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesamanya. Sikap ini sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

3.     Solidaritas
Yaitu penekanan pada kebersamaan dan kerja sama antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok.

4.     Karmapala
Yakni suatu pandangan dan keyakinan bahwa setiap perbuatan pasti akan mendatangkan hasil tertentu. Tergantung dari perbuatannya. Perbuatan baik akan membawa hasil baik, sebaliknya perbuatan buruk akan membawa hasil yang buruk pula.

5.     Desa-Kala-Patra
Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dan dalam kesatuan pasti terdapat perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam. Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai factor desa, kala, patra (tempat, waktu dan keadaan). Contoh : walaupun di Bali ada kesamaan bahasa dan agama, namun bentuk dan isi kebudayaan di tiap tempat sangat bervariasi.

6.     Daya Dukung Sistem Sosial
Keberadaan kebudayaan Bali juga ditentukan oleh dukungan dari system sosial yang mapan. Sistem sosial itu terwujud dalam lembaga-lembaga tradisional, seperti desa adapt, dadia dan organisasi subak yang masing-masing memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan masyarakat. Dan lembaga tradisional yang dibetuk berdasarkan konsep Tri Hita Karana sangat fungsional sebagai basis penerapan dan pengembangan budaya Bali.

Tri Hita Karana mengandung filsafat keselarasan, yaitu keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam lingkungannya. Filsafat keselarasan itu, sesuai ajaran Hindu, merupakan tujuan hidup orang Bali. Secara lebih hakiki pandangan itu tersurat dalam Pustaka Suci Wedha, yakni : Moksartham jagaditaya ca iti dharma, artinya tujuan agama adalah mencapai kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan hidup rohani secara selaras dan seimbang.

Negara-negara berkembang yang lingkungan masyarakatnya diwarnai perubahan yang sangat pesat, perhatiannya terhadap nilai-nilai tradisi harus tetap tinggi. Karena ciri pembangunan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu dapat membawa perubahan yang sangat cepat, maka potensi kebudayaan semestinya juga dikembangkan supaya mampu memasuki pembaruan, sanggup menerima nilai-nilai baru dan menyesuaikannya secara kreatif dengan keadaan yang terus berkembang. 

Dengan demikian tradisi budaya akan tetap memperoleh tempat dalam kehidupan modern. Dan potensi tradisi itu harus ditampilkan sebagai pendorong bagi kreativitas masyarakat, seirama dengan tantangan kehidupan yang timbul dari perubahan-perubahan. Kemampuan menerima perubahan merupakan satu potensi yang sangat penting dan inilah yang menjadi sebab adanya nilai-nilai yang dapat terus bertahan hidup.

Sangatlah perlu merevitalisasi nilai-nilai tradisi agar selaras dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi kita tahu pembangunan dan prubahan adalah potensi dalam unsur budaya (tradisi) itu. Di Bali, unsur-unsur yang demikian itu sudah mengakar dan menjadi kepribadian kehidupan masyarakat. Unsur cipta, rasa dan karsa tercermin sebagai inti nilai tradisi.

Daya tahan unsur-unsur kebudayaan Bali itu telah terbentuk sejak berabad-abad lalu, terutama sejak kontak dengan agama Hindu pada permulaan Masehi. Proses yang panjang itu juga yang membuat agama dan kebudayaan Hindu menyatu dengan tradisi Bali sehingga tidak terpisahkan lagi dalam kehidupan masyarakat, dengan kata lain tradisi Bali sejak awal memiliki potensi untuk berkembang mengikuti perubahan, tanpa harus melepaskan nilai-nilai hakikinya.

Potensi itu, selain dibentuk oleh konsep : rwa bhineda, desa kala patra, tri hita karana juga oleh taksu dan jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua paradigma dalam kebudayaan Bali yang sangat dihayati oleh pendukungnya.

7.     Taksu
Adalah kekuatan dalam yang memberikan kecerdasan, keindahan dan keajaiban. Dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas budaya Bali, taksu juga punya arti sebagai kreativitas budaya murni, yang memberi kekuatan spiritual kepada seorang seniman untuk mengungkapkan dirinya “lebih besar” dari kehidupan sehari-harinya. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkannya dan muncul dengan memukau , sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya.

8.     Jengah
Dalam konteks budaya (seni) Bali, jengah memiliki konotasi semangat untuk bersaing dalam menciptakan karya-karya bermutu tinggi. Jika taksu memiliki arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah merupakan sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu, yakni suatu gerak spiritual yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya Bali yang dinamis merupakan potensi untuk bertahan dari pengaruh buruk budaya modern. Hidup masyarakatnya yang patuh pada aturan dari lembaga adat, pada akhirnya membentuk orang Bali menjadi manusia yang kuat, suka bekerja keras, berjiwa gotong royong dan menjunjung solidaritas. 


Potensi seperti ini harus dikembangkan untuk kepentingan membangun bangsa. Dengan cara melakukan pembinaan budaya local secara terus-menerus karena Bali merupakan pusat pertemuan berbagai kebudayaan. Jangan sampai budaya Bali semakin terpinggirkan oleh budaya Barat. Semua jenis kesenian harus dibina dan dikembangkan, supaya kedudukan kesenian menjadi bagian PRIMER diantara kebutuhan hidup masyarakat. Dengan begitu kesenian akan mampu bertahan dan mendukung kehidupan ekonomi para pelaku seni. Akibatnya, kehidupan kesenian Bali akan tetap subur di tengah-tengah gempuran budaya Modern.




Kerja

taken by : a.n.s
Makhluk menetas dari makanan,
makanan mengurai dari hujan,
hujan berderai dari yadnya,
yadnya adalah kerja, saudaraku.

Tiada orang mereguk dosa karena menyantap
apa yang tersisa dari yadnya.
Tapi mereka, orang-orang jahat,
yang menyiapkan makanan untuk kepentingannya sendiri,
ia sendiri memangsa dosa-dosanya.

Kecuali bekerja,
alam juga terikat hukum karma.
Oleh karena itu, wahai saudaraku,
beryadnyalah, bebaskan segala ikatan,
Bekerjalah bagi Tuhan.

taken by : a.n.s
Tanpa kerja, bagaimana mungkin,
engkau memelihara badanmu,
Maka bergegaslah, laksanakan kewajibanmu.
O, saudaraku, letak kebebasan bukanlah dalam diam.
Bukan pula menghindar dari tugas
membuat sampai pada kesempurnaan.






Disunting dari Kitab "Bhagawadgita"

Jumat, 05 Maret 2010

Pura Luhur Batukaru


Dalam lontar Kusuma Dewa disebutkan, Mpu Kuturan merupakan salah satu tokoh sentral berdirinya Pura Kahyangan Jagat yang ada di Bali. Begitu juga dengan berdirinya Pura Batukaru pun tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan Mpu Kuturan tersebut. Disebutkan pula Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat.


Diperkirakan, sekitar abad ke-11 Masehi, Mpu Kuturan dalam pustaka Padma Bhuwana menyatakan atau sejenis memproklamasikan Bali sebagai Padma Bhuwana. Artinya, Bali sebagai replika alam semesta sthana Tuhan. Tujuan dari Padma Bhuwana Tattwa itu adalah untuk menanamkan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Tak ada kegiatan hidup ini tanpa kesaksian Tuhan.

Agar pemujaan pada Tuhan menjadi terarah untuk membenahi kehidupan umat manusia, maka Mpu Kuturan mengajarkan tentang penjabaran Padma Bhuwana Tattwa menjadi empat konsep pemujaan. Inti Padma Bhuwana Tattwa itu adalah konsep pemujaan pada Tuhan yang eksistensiNya ada di alam semesta.
 

Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Sekitar 42 km dari kota Denpasar. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. 


Pura Luhur Batukaru merupakan salah satu pura Sad Kahyangan yang terletak di sebelah Barat Pulau Bali ini, juga dikenal sebagai pengider bhuwana. Karena statusnya sebagai Kahyangan Jagat, maka pura ini disungsung umat Hindu dimana pun di jagat raya ini. Karena letaknya di Barat Pulau Bali sebagai pengider bhuwana, dapat dipastikan pura ini tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Mahadewa. Odalan di Pura Luhur Batukaru adalah tiap Manis Galungan atau Wrespati Umanis Dungulan.

Referensi : Parisada Hindu Dharma Indonesia

Rabu, 24 Februari 2010

Pura Negara Gambur Anglayang


Masyarakat yang hidup di Bali dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal terbiasa hidup rukun dan menjunjung tinggi toleransi.


Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala peninggalan sejarah .
Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Yaitu pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.

Pura Negara Gambur Anglayang terletak di tepi Pantai Tabaning, Kubutambahan. Tabaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abad ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas.


Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya, Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha -- budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-13). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.


Karena tempat itu dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambang dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal.


Seperti apa pun perjalanan sejarahnya, situs Pura Gambur Anglayang bisa memberi pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Jejak-jejak sejarah tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.




Dilihat dari luar, Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di Bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggih-nya yang mencerminkan berbagai suku dan agama di dunia. Untuk piodalan di Pura Negara Gambur Anglayang dilaksanakan setiap Buda Cemeng Klawu.

Referensi : Parisada Hindu Dharma Indonesia





MELASTI


Dalam menyambut Tahun Baru Saka (Nyepi), umat Hindu biasanya melakukan upacara Melasti.
Makna apa yang terkandung dalam upacara melasti?

Dosen IHDN Denpasar I Ketut Wiana mengatakan dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan “Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata, anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing bhuwana” . Maksudnya, melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran diri dan kekotoran alam semesta. Sedangkan tujuan melasti seperti yang tersurat dalam Lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha kamandalu ring telenging segara- mengambil sari-sari kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber kehidupan) di tengah samudera (BaliPost, 21 Maret 2009)

Kata Wiana, “Ngiring prawatek dewata” dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Dalam konteks itu, umat diharapkan mampu menguatkan daya spiritual untuk menajamkan kecerdasan intelektual. Hal itu dijadikan dasar untuk menguatkan kepekaan emosional dan melahirkan kepedulian sosial. Anganyutaken laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat, Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi untuk mengatasi lima kekotoran individu yang disebut panca klesa—awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya melalui ritual melasti umat diharapkan termotivasi untuk menghilangkan kebisaan buruk merusak sumber daya alam. Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak (letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan menderita. 

Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana mengatakan melasti berasal dari kata lasti. yang artinya menuju air. Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi segara (laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai).
Tujuannya, nunas tirta amertha dan menghanyutkan kekotoran dunia. Kata Sudiana yang dosen IHDN Denpasar, "melasti ngarania ngiring prewatekan pralingga Ida Batara ke telengin samudera angamet tirta amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana”. Artinya, umat ngiring Ida Batara ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan dunia atau alam semesta ini kotor. 

Lanjut Sudiana, secara simbolik sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri supaya menjadi lebih baik, dengan menghilangkan atau menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri. Jadi, dalam konteks Panca Bali Krama, umat diingatkan melakukan introspeksi diri misalnya, selama kurun waktu setahun ke belakang, sudahkah ada perbaikan-perbaikan dalam diri? Demikian pula selama kurun waktu itu, sudähkan umat menjaga atau memperlakukan alam semesta ini dengan baik? Melalui introspeksi seperti itu diharapkan ke depan muncul perbaikan-perbaikan perilaku, sehingga terjadi keharmonisan. Pun, melalui upacara pamahayu jagat ini diharapkan keharmonisan alam beserta isinya tetap terjaga.

Dari penjelasan tersebut dapat diisimpulkan bahwa Upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan lahir bathin manusia dan alam, dengan jalan menghayutkan segala kotoran menggunakan air kehidupan. Oleh karena itu prosesi sembahyang dilakukan di sumber-sumber air. Dilaksanakan selambat-lambatnya menjelang sore. Upacara ini juga bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindhu diberi kekuatan dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi.

Prosesi diawali dengan iring-iringan jempana dan sesaji diusung ke tepi pantai hingga kaki para pengusung menyentuh air laut. Selanjutnya berbagai sesaji tersebut diletakkan di meja yang telah disiapkan. Di hadapan umat Hindhu, Ida Begawan didampingi para "wasi" dan para "sutri" memimpin pemujaan dengan membaca mantra (doa), sementara umat dengan khidmat dan hening mengikuti persembahyangan tersebut.

Usai pemujaan dilanjutkan dengan ritual Nunas Tirta Ring, pemuka umat Hindhu berjalan ke tepi pantai untuk mengambil air laut yang digunakan sebagai salah satu sarana persembahyangan. Pemuka umat Hindhu kemudian memasukkan air laut tersebut ke dalam gentong yang sebelumnya juga telah diisi air dari berbagai sumber atau dalam istilah Hindhu disebut Tirta Amarta. Ritual ini merupakan simbolisasi dari penyucian diri bagi umat Hindhu agar diberi kekuatan lahir dan bathin oleh Sang Hyang Widhi dalam menunaikan tapa brata di Hari Nyepi mendatang.

Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan doa dan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, secara berurutan rangkaian ritual ini yakni Natab Banten Biyekaon, durmanggala dan prayastita. Dilanjutkan ritual sembahyang dengan urutan yakni Puja Trisandya, Kramaning Sembah, Meditasi dengan hening membaca doa Angamet Sarining Bhuwana, dilanjutkan Nunas Tirta Amarta yakni para pemuka agama memberikan air suci kepada para umat. Rangkaian doa dan sembahyang diakhiri dengan ritual Parama Santi.
Sebelum upacara ritual berakhir, berbagai macam sesaji dilabuh di  laut,sungai atau danau. Seluruh umat Hindhu yang hadir diharuskan agar anggota badannya terkenai air laut sebagai simbolisasi penghayutan segala kekotoran. Selain itu, Upacara Melasti merupakan kegiatan keagamaan dan sarat dengan nilai budaya.Dengan segala rangkaian upacara dan pernak-perniknya, upacara ini dapat menjadi salah satu daya tarik wisata. 


Referensi : Bali Post, www.bantulbiz.com

Selasa, 16 Februari 2010

Pura Panegil Dharma

Pura Penegil Dharma terletak di wilayah Desa Kubutambahan,Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pura yang tergolong Kahyangan Jagat Nusantara ini sering pula disebut dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma atau Penyusu Dharma. Sejarah pendirian pura ini dimulai pada Tahun 915 M.

Berdirinya Pura Penegil Dharma tidak terlepas dari sejarah panjang Ugrasena, perintis Dinasti Warmadewa dan Maha Rsi Markania atau yang disebut masyarakat Bali sebagai Rsi Markandya. Pura Penegil Dharma sudah ada saat Bali masih menyatu dengan Pulau Jawa dan berada di ujung timur pulau itu. Dahulu Bali bernama Prawali (berdasarkan prasasti Mataram I).

Dalam prasasti itu tertulis bahwa Gunung Merapi meletus hebat pada tahun 914 M. Letusan Gn. Merapi menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang terpusat di Candi Boko, Jawa Tengah, di mana penduduknya menganut agama Siwa. Raja Mataram I Sri Sanjaya meninggal karena letusan tersebut. Kemudian masyarakat yang selamat dipimpin Mpu Sindok mencari tempat baru untuk kembali mendirikan kerajaan. 

Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai Berantas dibangun kerajaan yang diberi nama Kahuripan. 

Sementara salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I,Ugrasena, tidak turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun pusat kerajaan baru di Prawali. 

Di Kahuripan, Ugrasena mendengar bahwa ada parekan Ida Sang Hyang Widhi sedang bertapa di Puncak Gunung Semeru. Namanya Maha Rsi Markania. Nama "Markania" berasal dari kata "parekan". Ugrasena lalu menghubungi Maha Rsi itu dan bersama-sama mencari pralingga di Prawali. Bersama sebagian rakyat Mataram I mereka akhirnya menemukan pralingga tersebut di tepi danau yang kemudian diberi nama Kawista yang artinya buah bila. 

Kawista ini juga singkatan dari "Kawi Prayascita", bermakna wilayah Kawista sebagai ibu kota yang sudah suci karena titah (takdir) sebelum campur tangan manusia yang mengupacarai kesuciannya. Maha Rsi Markania mengatakan tempat itu Gigir Manuk yang berada di wilayah Desa Kubutambahan hingga Air Lutung (Ponjok Batu). 

Kawista dibangun menjadi pusat kerajaan, istana, agama dan petirtaan karena di dalam danau itu ada 118 mata air suci. Ugrasena menjadi Raja Kawista dengan gelar Kesari Warmadewa. Sementara Senapati Kuturan atau Menteri Agama dijabat Rsi Markania yang merangkap sebagai penasihat raja. Kawista inilah nantinya menjadi Pura Penegil Dharma. 

Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya). 

Di Istana Kawista inilah lahir keturunan Dinasti Warmadewa yaitu putra-putra Kesari Warmadewa. Pertama Janasadhu Warmadewa dengan permaisurinya Sri Wijaya Mahadewi yang menurunkan Udayana. Udayana memiliki permaisuri Mahendradatta, yaitu mindon-nya dari Kerajaan Kahuripan. Keturunan selanjutnya dari Dinasti Warmadewa yaitu Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu tidak menghasilkan keturunan sehingga tidak ada penerus Kerajaan Kawista yang masih menyatu dengan Pulau Jawa itu. Kawista akhirnya jadi hutan rimba yang ditempati para penjahat. 

Sementara pada tahun 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga Negara dengan lambang singa bersayap. 

Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. Kedua pulau itu terpisah laut sempit yang lebarnya kurang dari 100 meter sehingga diberi nama "Segara Rupet". 

Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata "muloyo iki pusering jagat prawali". I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pasek di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Kawista juga sudah ditempati para bromocorah yang merampok pedagang yang melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para penjahat itu. 

Setelah menumpas para penjahat, Kawista dibangun kembali menjadi areal pura. Di Pura Puseh Panegil Dharma dibangun lima pura yaitu Pura Pucaking Giri (selatan), Pura Patih Patengen Agung (utara), Pura Kertapura yang berfungsi sebagai pesamuan para raja dan patih di Narasinga Nagara (tengah), dalam telaga, Pura Taman Sari Mutering Jagat Istana Dharmadyaksa (timur) dan Pura Kerta Negara Mas sebagai istana raja. Sementara pusat itu dikelilingi delapan pura lainnya masing-masing Pura Negara Gambuh Anglayang, Dalem Puri, Maduwe Karang, Patih, Pandita, Candri Manik, Gede dan Pura Sang Cempaka.

Pura ini berada di lahan seluas sekitar 1,5 hektar. Piodalan di pura ini berlangsung setiap enam bulan, yaitu saat Buda Manis Julungwangi. Pura ini disungsung seluruh masyarakat Buleleng dan Bali. Pangemongnya dari Desa Pakraman Kubutambahan yang terdiri atas Pasaren, Teruna dan Pemaksan. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Para pangemong ini yang menyiapkan segala upacara yang berlangsung di Pura Penegil Dharma. Di Pura Penegil Dharma semua umat harus mohon kesadaran terhadap fungsi panumadian supaya perjuangan hidup berhasil dengan baik. Orang yang bersembahyang ke pura ini harus dalam keadaan bersih lahir batin.

-sumber : Bali Post-



Kamis, 11 Februari 2010

plagiarism anyone??

Dunia akademis Indonesia dihentak oleh pemberitaan di media mengenai tindakan plagiat yang dilakukan oleh seorang profesor di Unpar.Profesor tersebut (Prof.X), dicurigai mengutip hasil karya seorang Penulis Australia saat beliau menulis sebuah artikel di The Jakarta Post tanpa menyertakan sumber kutipan tersebut dalam artikel yang beliau tulis. Sangat disayangkan tindakan yg sepertinya 'ceroboh' ini akhirnya membawa Prof.X kepada suatu kondisi yang ironis.Gelar Guru Besar yang telah diraih dengan susah payah harus dicabut karena 'plagiatisme' ini. Nila setitik merusak susu sebelanga.Kira2 itu peribhasa yang cocok untuk menggambarkan kondisi yang dialami oleh Prof.X.
Sebenarnya jika mau jujur urusan 'plagiat' ini sangat akrab dengan dunia pendidikan di Indonesia. Banyak mahasiswa S1 dan S2 yang menjiplak karya orang lain tanpa menyertakan darimana mereka mengutip tulisan2 tersebut.Atau yang lebih jauh lg mereka membayar sejumlah uang untuk mendapatkan skripsi atau thesis yang sudah jadi dan diakui sebagai hasil karya mereka.Ironis jika skripsi dan thesis yang sebenarnya adalah puncak dari tahun-tahun pembelajaran mereka harus diakhiri dengan sesuatu yang palsu.
Saya sendiri pernah punya pengalaman seru yang berkaitan dengan sesuatu yang dekat dengan Plagiarism. Sewaktu menempuh pendidikan S2 di UGM saya mengambil konsentrasi Ekonomi Publik. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar master saya diharuskan untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah berupa thesis.Dalam pengerjaan penelitian ini saya dibantu oleh seorang dosen pembimbing.Kebetulan saya dibimbing oleh dosen yang teliti.Beliau benar2 mempertanyakan darimana kita mendapat kutipan yang kita sertakan dalam tulisan.Kalau perlu beliau harus melihat sendiri sumber yang kita gunakan.baik itu dari buku, penelitian sebelumnya, jurnal, artikel2 dari internet,koran,dsb.
'Plagiat' tentunya bisa dicegah bila kita berhati2 dalam mengutip dan jujur pada diri kita sendiri.Rajin berlatih menulis adalah salah satu cara untuk mencegah tindakan plagiat. Semoga Bangsa Indonesia bisa jadi lebih kreatif dan tidak menjadi bangsa plagiat. Saya Bangga menjadi orang Indonesia!