"Meme, ada be ap jumah?, seduk ne me. yen sing ad be yang kal meli McD ".
Begitu kata Made Tombong kepada ibunya lewat ponsel barunya. Namanya saja beli ponsel baru, padahal beli sekon.
Itu gambaran masyarakat Bali saat ini, yang sudah semakin larut dalam arus globalisasi dan modernisasi, serta sasi2 lainnya. Sebagian masyarakat, khususnya masyarakat di perkotaan dikelilingi oleh gaya hidup hedonis dan metropolitan. apalagi ABG (anak baru gede) yang saban hari nongkrong di mal atau cafe. entah sekedar duduk2 sambil makan donat J.Co plus nge wifi, atau sekedar main bilyar.
Banyak pihak yang pesimis terhadap kelangsungan budaya Bali. Terutama dengan adanya interaksi antara kebudayaan dan pariwisata , serta pengaruhnya bagi pembinaan kebudayaan dan pengembangan pariwisata Bali. Hal tersebut tentunya akan membawa pengaruh positif tapi juga negatif bagi masyarakat Bali. Pengaruh positifnya dapat dilihat dari pembangunan yang semakin meningkat ditopang oleh pariwisata. Sedangkan pengaruh negatifnya juga ada, terutama dari segi sosial dan gaya hidup.
Sejarah hubungan Bali dan Pariwisata terjalin cukup lama. Di Bali mulai dikenal kegiatan pariwisata pada periode tahun 1920-an. Dan hingga sekarang, Bali menjadi satu daerah tujuan wisata yang paling terkenal di Indonesia bahkan sampai dunia. Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat yang bekerja di bidang pariwisata semakin bertambah, jumlah desa yang dibuka menjadi obyek wisata juga bertambah. Apalagi kepariwisataan di Bali dibangun menjadi industri dan bisnis yang profesional, sehingga dari semua segi mampu berdampingan dan bersaing dengan negara lain yang sudah maju kepariwisataannya. Oleh karena itu, meningkat pula intensitas pergaulan, komunikasi dan keterbukaan kebudayaan Bali terhadap kebudayaan Barat (internasional).
Bertentangan dengan pihak yang pesimis akan kelangsungan budaya Bali, ada juga pihak yang optimis kalau budaya Bali bisa bertahan dari pengaruh Barat. Pihak ini yakin pengaruh pariwisata tidak serta merta membawa pengaruh negatif di Bali. Karena interaksi kebudayaan lokal dengan kebudayaan luar yang berlangsung dalam bingkai kepariwisataan tetap berjalan secara fleksibel dan adaptif tanpa meninggalkan esensi atau tujuan awal dari agama Hindu, yaitu untuk Yadnya.
Jika dianalisis secara struktural, baik struktur dalam maupun struktur luar, tampak beberapa ciri yang melekat dalam kebudayaan Bali. Dimana kebudayaan itu selalu menunjukkan diri sebagai kebudayaan yang cenderung bersifat ekspresif, selain memiliki ruang luas yang memberi kesempatan untuk berkembang secara variatif. Hal itu terjadi akibat struktur dalam yang menjadi esensi dan pembentuk kepribadian kebudayaan merupakan perpaduan yang utuh antara tradisi dengan Agama Hindu yang berintikan nilai religi, estetika dan solidaritas. Sedangkan dari struktur sudut luar, kebudayaan Bali senantiasa diwarnai proses adaptasi dan respon yang dinamis dari masyarakat Bali terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya.
Dengan demikian, struktur luar kebudayaan Bali memperlihatkan keragaman bentuk dan variasi sesuai dengan konsep desa, kala, patra (tempat, waktu, keadaan). Memang, dibanding struktur dalam, struktur luar kebudayaan Bali lebih cepat berubah. Namun demikian pola perkembangan kebudayaan Bali tidak akan menyimpang dari beberapa konsep yang membangun dan melandasi strukturnya (Mantra,1993) , antara lain :
1. Rwa Bhineda (Dualistik)
Suatu pengakuan tentang adanya dua kategori yang secara abadi berlawanan dan senantiasa mewarnai kehidupan ini yaitu baik dan buruk, sacral dan profane, pria dan wanita, dst
2. Keselarasan
Terutama keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesamanya. Sikap ini sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
3. Solidaritas
Yaitu penekanan pada kebersamaan dan kerja sama antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok.
4. Karmapala
Yakni suatu pandangan dan keyakinan bahwa setiap perbuatan pasti akan mendatangkan hasil tertentu. Tergantung dari perbuatannya. Perbuatan baik akan membawa hasil baik, sebaliknya perbuatan buruk akan membawa hasil yang buruk pula.
5. Desa-Kala-Patra
Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dan dalam kesatuan pasti terdapat perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam. Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai factor desa, kala, patra (tempat, waktu dan keadaan). Contoh : walaupun di Bali ada kesamaan bahasa dan agama, namun bentuk dan isi kebudayaan di tiap tempat sangat bervariasi.
6. Daya Dukung Sistem Sosial
Keberadaan kebudayaan Bali juga ditentukan oleh dukungan dari system sosial yang mapan. Sistem sosial itu terwujud dalam lembaga-lembaga tradisional, seperti desa adapt, dadia dan organisasi subak yang masing-masing memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan masyarakat. Dan lembaga tradisional yang dibetuk berdasarkan konsep Tri Hita Karana sangat fungsional sebagai basis penerapan dan pengembangan budaya Bali.
Tri Hita Karana mengandung filsafat keselarasan, yaitu keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam lingkungannya. Filsafat keselarasan itu, sesuai ajaran Hindu, merupakan tujuan hidup orang Bali. Secara lebih hakiki pandangan itu tersurat dalam Pustaka Suci Wedha, yakni : Moksartham jagaditaya ca iti dharma, artinya tujuan agama adalah mencapai kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan hidup rohani secara selaras dan seimbang.
Negara-negara berkembang yang lingkungan masyarakatnya diwarnai perubahan yang sangat pesat, perhatiannya terhadap nilai-nilai tradisi harus tetap tinggi. Karena ciri pembangunan yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi itu dapat membawa perubahan yang sangat cepat, maka potensi kebudayaan semestinya juga dikembangkan supaya mampu memasuki pembaruan, sanggup menerima nilai-nilai baru dan menyesuaikannya secara kreatif dengan keadaan yang terus berkembang.
Dengan demikian tradisi budaya akan tetap memperoleh tempat dalam kehidupan modern. Dan potensi tradisi itu harus ditampilkan sebagai pendorong bagi kreativitas masyarakat, seirama dengan tantangan kehidupan yang timbul dari perubahan-perubahan. Kemampuan menerima perubahan merupakan satu potensi yang sangat penting dan inilah yang menjadi sebab adanya nilai-nilai yang dapat terus bertahan hidup.
Sangatlah perlu merevitalisasi nilai-nilai tradisi agar selaras dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi kita tahu pembangunan dan prubahan adalah potensi dalam unsur budaya (tradisi) itu. Di Bali, unsur-unsur yang demikian itu sudah mengakar dan menjadi kepribadian kehidupan masyarakat. Unsur cipta, rasa dan karsa tercermin sebagai inti nilai tradisi.
Daya tahan unsur-unsur kebudayaan Bali itu telah terbentuk sejak berabad-abad lalu, terutama sejak kontak dengan agama Hindu pada permulaan Masehi. Proses yang panjang itu juga yang membuat agama dan kebudayaan Hindu menyatu dengan tradisi Bali sehingga tidak terpisahkan lagi dalam kehidupan masyarakat, dengan kata lain tradisi Bali sejak awal memiliki potensi untuk berkembang mengikuti perubahan, tanpa harus melepaskan nilai-nilai hakikinya.
Potensi itu, selain dibentuk oleh konsep : rwa bhineda, desa kala patra, tri hita karana juga oleh taksu dan jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua paradigma dalam kebudayaan Bali yang sangat dihayati oleh pendukungnya.
7. Taksu
Adalah kekuatan dalam yang memberikan kecerdasan, keindahan dan keajaiban. Dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas budaya Bali, taksu juga punya arti sebagai kreativitas budaya murni, yang memberi kekuatan spiritual kepada seorang seniman untuk mengungkapkan dirinya “lebih besar” dari kehidupan sehari-harinya. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkannya dan muncul dengan memukau , sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya.
8. Jengah
Dalam konteks budaya (seni) Bali, jengah memiliki konotasi semangat untuk bersaing dalam menciptakan karya-karya bermutu tinggi. Jika taksu memiliki arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah merupakan sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu, yakni suatu gerak spiritual yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya Bali yang dinamis merupakan potensi untuk bertahan dari pengaruh buruk budaya modern. Hidup masyarakatnya yang patuh pada aturan dari lembaga adat, pada akhirnya membentuk orang Bali menjadi manusia yang kuat, suka bekerja keras, berjiwa gotong royong dan menjunjung solidaritas.
Potensi seperti ini harus dikembangkan untuk kepentingan membangun bangsa. Dengan cara melakukan pembinaan budaya local secara terus-menerus karena Bali merupakan pusat pertemuan berbagai kebudayaan. Jangan sampai budaya Bali semakin terpinggirkan oleh budaya Barat. Semua jenis kesenian harus dibina dan dikembangkan, supaya kedudukan kesenian menjadi bagian PRIMER diantara kebutuhan hidup masyarakat. Dengan begitu kesenian akan mampu bertahan dan mendukung kehidupan ekonomi para pelaku seni. Akibatnya, kehidupan kesenian Bali akan tetap subur di tengah-tengah gempuran budaya Modern.